Selasa, 17 April 2012

Setelah Hujan reda


“Hujan, kapan hujan bakalan berhenti” Audrey mengeluh sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa bulat merah jambu yang berada di pojok kamar. Sudah dua minggu sejak awal November hujan tidak pernah absen menemui kota yang selalu gersang ini. Dalam kamar tidur ukuran tiga kali empat itu Dian Cuma bisa diam sambil mengutak – atik notebook miliknya, dia heran melihat kelakuan saudaranya yang sedari tadi mengeluh tentang hujan. Padahal sebenarnya Audrey tidak akan pergi kemana – mana ataupun melakukan sesuatu yang membuatnya terganggu oleh hujan. Audrey memang beberapa hari terakhir suka uring – uringan kalau hujan turun.
Setelah lama memperhatikan Audrey yang uring – uringan, Dian akhirnya angkat suara. “ Kenapa sech miss cebonk? Seingat gua, lu suka banget sama hujan, kalo hujan biasanya bawaannya heppy banget, update status di facebook selalu soal hujan, nulis puisi juga judulnya kalo gak hujan, yah palingan ada rain-rain nya, temen – temen lu aja manggil lu cebong” Celoteh Dian. “Itu dulu!!” balas Audrey singkat.
“Masalah lu apa sech?” Dian semakin penasaran. “Lu pengen tau? Bener – bener pengen tau?” selidik Audrey. Dian hanya mengangguk sambil tersenyum. Audrey terdiam sejenak, matanya memandang Dian dengan lekat. “Menurut lu, kenapa gua suka hujan?” Audrey memulai.
“Hmmm, kalo gag salah lu dulu pernah bilang, banyak kesan yang yang bisa di ungkapkan saat hujan!” Dian melihat Audrey sekilas lalu kembali terpaut ke layar notebook. Audrey diam, banyak yang ingin dikatakannya tapi semua tertahan di tenggorokan, tidak satu hurufpun bisa dikeluarkannya. Dian berhenti sejenak dengan notebook dan memfokuskan pandangan pada saudara sepupunya itu. “Karena Fajar?” Dian sedikit ragu melanjutkan kata – katanya, “Gua tau, lu suka sama hujan karena lu sering melewati moment – moment penting lu sama fajar saat hujan kan? Pertama kali kenal sama dia, pertama kali jalan berdua, dia nembak lu juga waktu hujan, trus sekarang karena lu udah gak sama Fajar, kenapa lu harus gak suka sama hujan?” Dian mengerutkan dahinya karena tidak mengerti dengan jalan pikiran Audrey.
“Itu dia, lu udah tau semua yan, tapi lu ngelewatin satu fakta penting” Audrey menjawab dengan lirih, suaranya bergetar. Audrey menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya di kepal erat, berkali- kali ia mengangkat kepalanya supaya air mata nya tidak jatuh.
Dian mendekati Audrey, mengelus rambut panjang hitamnya, Dian masih bingung. “Lu kenapa?” Dian tidak tau harus berkata apa, di rangkulnya sepupunya itu dengan lembut.“Lu tau kenapa gua putus sama Fajar?” Audrey melanjutkan dengan terbata.
“Sorry, gua gak tau dre, bukannya gua gak peduli, tapi gua liat kayaknya lu gak suka gua bahas masalah itu, makanya gua gak berani nanya” jawab Dian penuh rasa bersalah.
“Gak apa – apa, bukan salah lu juga. Gua emang sebelumnya belum bisa cerita sama lu…” Audrey terdiam lagi, air mata nya benar – benar sudah tak sabar ingin melompat keluar, tapi pertahanan Audrey sangat ketat, sehingga tidak setetes air matapun bisa lolos.
“Kalau lu mau nangis, nangis aja, mungkin lu bisa lebih lega. Gua gak akan ngelarang lu nangis, dan lu gak perlu sungkan mau nangis di depan gua” Dian berusaha menghibur Audrey. “Itu dia yang gua gak mau yan, gua udah janji sama diri gua sendiri, gua gak bakalan nangis lagi untuk dia” balas Audrey.
“Oke, terserah lu. Sekarang lu mau cerita kan sama gua?” kata Dian. “Iya, gua udah siap cerita sekarang” Audrey membuang pandangan kosong. “Lu masih ingat waktu itu gua pulang naik motor hujan – hujanan sendiri?” Audrey melihat sekilas kearah Dian dan melanjutkan ceritanya. “Waktu itu gua balik dari super market, tiba – tiba gerimis. Jadi gua mampir di tempat biasa kami makan, niatnya gua mau beliin sesuatu buat dia, tapi lu tau gak, di sana gua ketemu siapa?” Audrey bercerita dengan tercekat.
“Fajar??” Tanya Dian. Audrey mengangguk pelan, “ Disana ada dia lagi makan sama cewek lain, dan lu tau cewek itu siapa? Cewek itu Ajeng, teman sekelasnya, padahal sebelumnya dia bilang dia Cuma temenan biasa sama Ajeng, dan gua udah percaya sama dia. Tapi liat, apa yang gua dapat, sementara gua mikirin dia, dia malah jalan sama cewek lain, mesra pula” Audrey sudah tidak bisa mengontrol emosinya, dan akhirnya dua tetes cairan bening itu mengalir dari matanya.
“Gua bener – bener gag tau harus ngomong apa, gua langsung lari keluar, pasang helm trus tancap gas. Tiba – tiba hujannya jadi lebat banget, badan gua basah semua gara – gara hujan, muka gua juga basah, tapi bukan karena hujan” Audrey terhenti sesaat karena di potong oleh Dian. “Apa?” Dian kaget mendengar cerita Audrey “Serius lu dre?
“Iya, makanya gua jadi gak mood kalo hujan, gua gak mau ingat lagi kejadian itu. Kalo hujan, gua bingung yang mana yang harus gua seka dulu, yang mana yang harus gua hapus dulu, hujan atau air mata” lanjut Audrey.
“Sumpah gua gak nyangka Fajar kayak gitu, gua kira dia cowok baik, gua bener – bener jadi ilfil sama dia. Apa sih maksudnya tu orang? Si Ajeng juga apa – apaan lagi, udah tau si Fajar udah punya cewek, masih aja mau di gombalin” emosi Dian benar – benar tersulut mendengar cerita Audrey.
“Yach, mau gimana lagi, mungkin gua kurang cantik n’ kurang oke di banding Ajeng. Lu liat aja dia, anak gaul gitu, baju – bajunya branded semua, rambutnya lurus bagus kayak gitu. Gua gak ada apa – apanya lah kalo di banding dia” suara Audrey melemah. “Huh, keren apanya? Palsu semua gitu, Rebonding, whitening, di tambah semua atribut - atributnya yang gak penting itu, lu jauh lebih baik. Si Fajar tu aja yang bego’ gag bisa ngeliat nilai – nilai positif lu. Mau cari dimana lagi coba cewek manis yang smart juga asik kayak lu?” Dian menggebu – gebu.
Audrey tersenyum “ Lu lebay, biasa aja kali, but anyway thanks ya. Gua beruntung bisa punya sepupu kayak lu”. “nah gitu dong neng, senyum, daritadi cemberut aja. Kalau kayak gini kan enak ngeliatnya” Dian juga tersenyum lega karena sepupunya itu sudah tenang kembali.
“Eh, hujannya udah reda, kelamaan sih kita ceritanya” Lanjut Audrey, perasaannya sudah sedikit tenang sekarang karena sudah bisa membaginya dengan saudara sekaligus sahabatnya itu. Tiba – tiba terdengar suara seseorang memanggil dari arah teras. “ Siapa tuh!?” Tanya Audrey.
“Owh, temen gua kayaknya, dia mau jemput bahan buat tugasnya yang barusan gua kerjain” Jawab Dian. “Temen lu?” Audrey heran. “Iya, sini gua kenalin” Dian menarik Audrey dan mengajaknya keluar untuk menemui temannya.
Di teras sudah berdiri sesosok cowok bertubuh tinggi, kulitnya putih bersih, matanya besar dan hidungnya mancung, dia tersenyum lebar dengan bibir mungilnya. Terlalu susah menggambarkannya, intinya cowok itu ganteng.
“ Hai van, kok baru kesini sekarang? Gua tungguin daritadi” sapa Dian.
“Sorry- sorry, tapi lu tau sendiri kan daritadi hujan? Anyway, mana bahannya?” Cowok itu menjawab masih dengan senyum manisnya.
“Nih, udah gua masukin flashdisk, owh iya, kenalin neh sepupu gua” Dian menunjuk kearah Audrey dan segera pandangannya beralih kearah Audrey yang daritadi hanya melongo terkagum – kagum melihat cowok itu tanpa berkedip. “Woi, hello…kenalin tuch temen gua, bengong aja lu daritadi kayak ayam sakit”
“Oh, eh,,iya..iya..hai aku Audrey” Audrey menyodorkan tangannya, ia benar – benar salah tingkah.
“Stivan” Cowok itu menjabat tangan Audrey dan kembali tersenyum. “Yaudah. Gua balik dulu ya yan, gua ada latihan basket bentar lagi” Stivan memandang kearah Dian.
“Seeph, hati - hati yah!” balas Dian. “Makasih. Audrey aku balik dulu ya” Stivan segera berbalik kearah motornya, sejenak setelahnya cuma asap knalpot yang tersisa. Sementara Audrey masih tertegun sambil tersenyum memandang ke arah stivan yang telah berlalu.
“Manis…” gumam Audrey sambil tersenyum. “Kenapa lu? Naksir?? Masih jomblo lho dia” Dian menatap lekat wajah sepupunya yang berseri – seri itu.
“Serius lu? Gua mau dong??!!” ujar Audrey setengah merengek pada Dian “Tolongin yan, tolongin….”.
“Hahahahha, Jadi kemana tampang mellow lu yang menderita tadi?” Dian benar – benar heran melihat kelakuan sepupunya itu.
“Hujannya udah reda sayang… Saatnya menemukan seseorang lain, dan gua udah putuskan Stivan lah orangnya, dan lu sebagai sepupu gua dan temannya dia bertugas buat bantuin gua. Ya…ya…ya…pliss” Audrey masih berusaha merayu Dian supaya mau membantunya.
“Dasar, cewek labil!” Dian tersenyum sambil berlalu masuk kerumah, meninggalkan Audrey. Audrey pun segera menyusul dengan merengek – rengek masih minta dibantu oleh dian.


ΩThe EndΩ